Globalisasi
Posted by creator on 2:10:00 AM with No comments
GLOBALISASI DAN KAPITALISME GLOBAL
Secara umum, globalisasi berarti meningkatnya keterkaitan antara orang-orang dan tempat-tempat sebagai akibat dari kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi yang memunculkan konvergensi politik, ekonomi, dan budaya. Biasanya globalisasi didefinisikan sebagai integrasi dunia dalam bidang ekonomi, budaya, politik, agama, dan sistem sosial. Dalam ekonomi, globalisasi merupakan konvergensi harga, produk, gaji, suku bunga, dan profit pada yang berlaku di negara-negara maju. Globalisasi dalam bidang ekonomi sangat bergantung pada migrasi manusia, perdagangan internasional, perpindahan modal, dan integrasi pasar uang (http://.en.wikipedia/org/wiki/Globalization). Globalisasi juga dapat dilihat sebagai sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas negara menjadi bias (http://id.wikipedia.org/eiki/Globalisasi).
Globalisasi juga kerap dipandang sebagai kemenangan total demokrasi kapitalis (Fukuyama, 1992), internasionalisasi peradaban yang tak lagi memerlukan negara (Ohmae, 1995), epoch terakhir dari kapitalisme keuangan (Burbach, Nunez, & Kagarlitsky, 1997), dan kebangkitan satu “budaya hiburan yang tak kompatibel dengan tataran demokratis” (Herman & McChesney, 1997: 9) (Artz dan Kamalipour, 2003: 2-5). Sementara itu, Giddens secara nondeskriptif menyatakan bahwa globalisasi adalah modernisasi yang terintensifikasi menjadi “relasi sosial mendunia…menghubungkan lokalitas-lokalitas yang saling berjauhan” (1991:63), sedangkan Mohammadi menyatakan bahwa globalisasi teknologi memperluas “relasi kekuasaan dan komunikasi” ke seluruh dunia (1997:7), dan Pieterse mengungkapkan bahwa masyarakat dunia “seragam, terstandardisasi” berdasarkan “sinkronisasi teknologi, komersial, dan budaya” oleh dan untuk dunia Utara (1995, p.45) (Artz dan Kamalipour, 2003:4-5).
Banyak definisi lain dari globalisasi dan semua sangat bergantung pada berbagai sudut pandang. Karena mencakup berbagai tren politik, ekonomi, dan budaya, makna globalisasi menjadi sangat beragam. Dalam wacana populer, kata ini sering difungsikan sebagai “sinonim” dari beberapa fenomena berikut: pasar bebas, liberalisasi ekonomi, westernization dan Amerikaisasi, revolusi Internet, bahkan neoliberal Thatcherite (Robotham, 2005:77), dan lain-lain.
Sebenarnya gagasan-gagasan soal globalisasi telah muncul sejak 1839 saat seorang jurnalis Inggris melihat munculnya potensi tidak berartinya jarak (Harvey, 1996:242 dalam http://plato.stanford/entries/globalization). Selanjutnya Heinreich Heine, seorang penyair Jerman-Yahudi mengungkapkan gagasan yang serupa dalam karyanya (Schivelbusch, 1978:34 dalam http://plato.stanford/entries/globalization). Karl Marx juga mengungkapkan gagasan itu pada 1848 saat memformulasikan penjelasan teoritis pertamanya tentang kompresi teritorial yang sangat mengesankan dalam karyanya (Marx, 1979 [1848]:476 dalam http://plato.stanford/entries/globalization).
Globalisasi sebaiknya dilihat sebagai satu proses atau sekumpulan proses, bukan hanya suatu kondisi. Globalisasi tidak merefleksikan logika perkembangan yang linear dan sederhana, tidak juga meramalkan masyarakat dan komunitas dunia. Globalisasi mengacu pada munculnya jaringan antarregional dan sistem interaksi dan transaksi. Dalam hal ini, keterlibatan sistem nasional dan kemasyarakatan dalam proses-proses global mesti dihapus dari berbagai gagasan-gagasan integrasi global.
Dari sisi sistem dunia, globalisasi dipandang sebagai satu proses yang telah selesai pada abad ke-20 di mana sistem dunia kapitalis menyebar ke seluruh dunia. Karena sistem dunia itu telah mempertahankan beberapa fiturnya selama beberapa abad, globalisasi tidak mengandung fenomena baru (Wallerstein, 1998: 32 dalam http://www.sociology.emory.edu/globalization/theories01.html).
Dalam kaitannya dengan pemerintahan dan negara, globalisasi juga dipandang sebagai tumbuhnya dan tegaknya budaya dunia. Sejak pertengahan abad ke-19, institusi dunia yang terasionalisasi dan tatanan budaya telah mengkristal dan terdiri atas model-model yang dapat diaplikasikan secara universal dan membentuk identitas negara-negara, organisasi, dan individu (J. Meyer et. al., “World Society and the Nation State,” American Journal of Sociology dalam http://www.sociology.emory.edu/globalization/theories02.html).
Dalam kaitannya dengan budaya, globalisasi dimaknai sebagai “kompresi dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu kesatuan” Robertson, 1992:8 dalam http://www.sociology.emory.edu/globalization/theories03.html). Dalam gagasan dan tindakan, itu membuat dunia merupakan satu tempat tunggal. Arti dari kehidupan di tempat ini, dan bagaimana seharusnya dunia ini ditata, menjadi pertanyaan yang universal. Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab secara berbeda oleh para individu dan berbagai masyarakat yang mendefinisikan posisinya dalam kaitannya dengan sistem kemasyarakatan dan karakter-karakter kemanusiaan dari berbagai perspektif. Konfrontasi pandangan dunia mereka dapat diartikan bahwa globalisasi melibatkan “interaksi komparatif berbagai bentuk kehidupan” (Robertson; 1992:27 dalam http://www.sociology.emory.edu/globalization/theories03.html). Konsep budaya kosmopolitan global (Stevenson, 1998:63) mengindikasikan adanya satu budaya global yang dianggap dianut secara global. Ini bukan satu hal yang tak mungkin karena seperti yang diteorikan Giddens, globalisasi bisa mempengaruhi semua individu hinggamenjangkau wilayah-wilayah pribadi [1]
Dari mayoritas definisi globalisasi yang muncul terlihat bahwa globalisasi menyiratkan gagasan-gagasan terintegrasinya dunia menjadi satu (politik, ekonomi, budaya, bahkan sosial), runtuhnya batas-batas, dan eratnya hubungan antarnegara. Semua ilmuwan sosial pun setuju bahwa globalisasi dipicu oleh kemajuan teknologi transportasi dan, terutama, komunikasi dan informasi. Herbert Marshall McLuhan bahkan memperkenalkan konsep “global village” dalam The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan gagasan “the medium is the message” dalam Understanding Media: The Extensions of Man (1964). Globalisasi dianggap telah membentuk satu sistem dunia yang sama sekali baru.
Teori sistem dunia atau world system theory (WST), yang dimunculkan Immanuel Wallerstein dan berkaitan erat dengan teori dependensi, sama seperti teori-teori di bagian awal yang menggambarkan kapitalisme, menggambarkan adanya perluasan perkembangan yang akhirnya bersifat mendunia. Wallerstein menyatakan bahwa ekspansi ekonomi global terjadi antara sekelompok kecil negara maju (core zone) ke dua kelompok lain negara-negara, yaitu semiperiferal dan periferal.
Dalam sudut pandang electronic colonialism, semiperiferal dan periferal dapat disejajarkan dengan LDC’s (less developed countries). Ekspansi ekonomi tersebut memunculkan satu konstelasi global yang didalamnya muncul relasi-relasi, yang jelas tidak setara dan bersifat dominatif dan hegemonistik. Wallerstein menyakan bahwa negara-negara semiperiferal (Austria, Brasil, China, Finlandia, Hongaria, Polandia, Rusia, Swedia, Swiss, Singapura, Korea Selatan, Mesir, India, Argentina, Meksiko, Cili, Malta, Slovenia, Venezuela, dan beberapa negara lain) dan negara-negara periferal (sebagian besar Afrika, Amerika Latin, sebagian besar Asia, dan beberapa negara yang dulu menjadi bagian dari Uni Soviet) berada dalam posisi subordinat ketika berinteraksi dengan negara-negara di core zone (Amerika Serikat; Uni Eropa, yang terdiri atas 15 negara, dan 12 negara lain yang siap masuk dalam UE; dan Kanada, Israel, Australia, Selandia Baru, serta Jepang). Semua relasi yang terjadi antara negara-negara di dunia diatur oleh negara-negara di core zone. Ketidaksetaraan dalam konstelasi sistem dunia itu menunjukkan ciri yang sama dengan yang diproposisikan dalam kapitalisme, yaitu ketidaksetaraan hubungan dalam relasi kekuasaan.
Atas dasar-dasar yang telah dipaparkan di atas kapitalisme saat ini disebut sebagai kapitalisme global. Operasi sistem produksi profit dan akumulasi kapital telah terintegrasi ke berbagai belahan dunia sehingga memunculkan sifat global di dalamnya. Produksi dan perdagangan barang dan jasa pun telah bersifat global. Bahkan pergerakan kapital pun telah terjadi ke seluruh dunia. Pada titik tersebut, kapitalisme menjadi kapitalisme global. Selain itu, seperti yang dikatakan Kenneth B. Taylor, dalam “Global Capitalism and the Question of Global Governance: A Socioeconomic Perspective” dalam International Journal of Social Economics, globalisasi selama paruh kedua abad ke-20 telah menyebarkan institusi-institusi kapitalis dan politik liberal ke seluruh dunia.
Secara umum, globalisasi berarti meningkatnya keterkaitan antara orang-orang dan tempat-tempat sebagai akibat dari kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi yang memunculkan konvergensi politik, ekonomi, dan budaya. Biasanya globalisasi didefinisikan sebagai integrasi dunia dalam bidang ekonomi, budaya, politik, agama, dan sistem sosial. Dalam ekonomi, globalisasi merupakan konvergensi harga, produk, gaji, suku bunga, dan profit pada yang berlaku di negara-negara maju. Globalisasi dalam bidang ekonomi sangat bergantung pada migrasi manusia, perdagangan internasional, perpindahan modal, dan integrasi pasar uang (http://.en.wikipedia/org/wiki/Globalization). Globalisasi juga dapat dilihat sebagai sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas negara menjadi bias (http://id.wikipedia.org/eiki/Globalisasi).
Globalisasi juga kerap dipandang sebagai kemenangan total demokrasi kapitalis (Fukuyama, 1992), internasionalisasi peradaban yang tak lagi memerlukan negara (Ohmae, 1995), epoch terakhir dari kapitalisme keuangan (Burbach, Nunez, & Kagarlitsky, 1997), dan kebangkitan satu “budaya hiburan yang tak kompatibel dengan tataran demokratis” (Herman & McChesney, 1997: 9) (Artz dan Kamalipour, 2003: 2-5). Sementara itu, Giddens secara nondeskriptif menyatakan bahwa globalisasi adalah modernisasi yang terintensifikasi menjadi “relasi sosial mendunia…menghubungkan lokalitas-lokalitas yang saling berjauhan” (1991:63), sedangkan Mohammadi menyatakan bahwa globalisasi teknologi memperluas “relasi kekuasaan dan komunikasi” ke seluruh dunia (1997:7), dan Pieterse mengungkapkan bahwa masyarakat dunia “seragam, terstandardisasi” berdasarkan “sinkronisasi teknologi, komersial, dan budaya” oleh dan untuk dunia Utara (1995, p.45) (Artz dan Kamalipour, 2003:4-5).
Banyak definisi lain dari globalisasi dan semua sangat bergantung pada berbagai sudut pandang. Karena mencakup berbagai tren politik, ekonomi, dan budaya, makna globalisasi menjadi sangat beragam. Dalam wacana populer, kata ini sering difungsikan sebagai “sinonim” dari beberapa fenomena berikut: pasar bebas, liberalisasi ekonomi, westernization dan Amerikaisasi, revolusi Internet, bahkan neoliberal Thatcherite (Robotham, 2005:77), dan lain-lain.
Sebenarnya gagasan-gagasan soal globalisasi telah muncul sejak 1839 saat seorang jurnalis Inggris melihat munculnya potensi tidak berartinya jarak (Harvey, 1996:242 dalam http://plato.stanford/entries/globalization). Selanjutnya Heinreich Heine, seorang penyair Jerman-Yahudi mengungkapkan gagasan yang serupa dalam karyanya (Schivelbusch, 1978:34 dalam http://plato.stanford/entries/globalization). Karl Marx juga mengungkapkan gagasan itu pada 1848 saat memformulasikan penjelasan teoritis pertamanya tentang kompresi teritorial yang sangat mengesankan dalam karyanya (Marx, 1979 [1848]:476 dalam http://plato.stanford/entries/globalization).
Globalisasi sebaiknya dilihat sebagai satu proses atau sekumpulan proses, bukan hanya suatu kondisi. Globalisasi tidak merefleksikan logika perkembangan yang linear dan sederhana, tidak juga meramalkan masyarakat dan komunitas dunia. Globalisasi mengacu pada munculnya jaringan antarregional dan sistem interaksi dan transaksi. Dalam hal ini, keterlibatan sistem nasional dan kemasyarakatan dalam proses-proses global mesti dihapus dari berbagai gagasan-gagasan integrasi global.
Dari sisi sistem dunia, globalisasi dipandang sebagai satu proses yang telah selesai pada abad ke-20 di mana sistem dunia kapitalis menyebar ke seluruh dunia. Karena sistem dunia itu telah mempertahankan beberapa fiturnya selama beberapa abad, globalisasi tidak mengandung fenomena baru (Wallerstein, 1998: 32 dalam http://www.sociology.emory.edu/globalization/theories01.html).
Dalam kaitannya dengan pemerintahan dan negara, globalisasi juga dipandang sebagai tumbuhnya dan tegaknya budaya dunia. Sejak pertengahan abad ke-19, institusi dunia yang terasionalisasi dan tatanan budaya telah mengkristal dan terdiri atas model-model yang dapat diaplikasikan secara universal dan membentuk identitas negara-negara, organisasi, dan individu (J. Meyer et. al., “World Society and the Nation State,” American Journal of Sociology dalam http://www.sociology.emory.edu/globalization/theories02.html).
Dalam kaitannya dengan budaya, globalisasi dimaknai sebagai “kompresi dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu kesatuan” Robertson, 1992:8 dalam http://www.sociology.emory.edu/globalization/theories03.html). Dalam gagasan dan tindakan, itu membuat dunia merupakan satu tempat tunggal. Arti dari kehidupan di tempat ini, dan bagaimana seharusnya dunia ini ditata, menjadi pertanyaan yang universal. Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab secara berbeda oleh para individu dan berbagai masyarakat yang mendefinisikan posisinya dalam kaitannya dengan sistem kemasyarakatan dan karakter-karakter kemanusiaan dari berbagai perspektif. Konfrontasi pandangan dunia mereka dapat diartikan bahwa globalisasi melibatkan “interaksi komparatif berbagai bentuk kehidupan” (Robertson; 1992:27 dalam http://www.sociology.emory.edu/globalization/theories03.html). Konsep budaya kosmopolitan global (Stevenson, 1998:63) mengindikasikan adanya satu budaya global yang dianggap dianut secara global. Ini bukan satu hal yang tak mungkin karena seperti yang diteorikan Giddens, globalisasi bisa mempengaruhi semua individu hinggamenjangkau wilayah-wilayah pribadi [1]
Dari mayoritas definisi globalisasi yang muncul terlihat bahwa globalisasi menyiratkan gagasan-gagasan terintegrasinya dunia menjadi satu (politik, ekonomi, budaya, bahkan sosial), runtuhnya batas-batas, dan eratnya hubungan antarnegara. Semua ilmuwan sosial pun setuju bahwa globalisasi dipicu oleh kemajuan teknologi transportasi dan, terutama, komunikasi dan informasi. Herbert Marshall McLuhan bahkan memperkenalkan konsep “global village” dalam The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962) dan gagasan “the medium is the message” dalam Understanding Media: The Extensions of Man (1964). Globalisasi dianggap telah membentuk satu sistem dunia yang sama sekali baru.
Teori sistem dunia atau world system theory (WST), yang dimunculkan Immanuel Wallerstein dan berkaitan erat dengan teori dependensi, sama seperti teori-teori di bagian awal yang menggambarkan kapitalisme, menggambarkan adanya perluasan perkembangan yang akhirnya bersifat mendunia. Wallerstein menyatakan bahwa ekspansi ekonomi global terjadi antara sekelompok kecil negara maju (core zone) ke dua kelompok lain negara-negara, yaitu semiperiferal dan periferal.
Dalam sudut pandang electronic colonialism, semiperiferal dan periferal dapat disejajarkan dengan LDC’s (less developed countries). Ekspansi ekonomi tersebut memunculkan satu konstelasi global yang didalamnya muncul relasi-relasi, yang jelas tidak setara dan bersifat dominatif dan hegemonistik. Wallerstein menyakan bahwa negara-negara semiperiferal (Austria, Brasil, China, Finlandia, Hongaria, Polandia, Rusia, Swedia, Swiss, Singapura, Korea Selatan, Mesir, India, Argentina, Meksiko, Cili, Malta, Slovenia, Venezuela, dan beberapa negara lain) dan negara-negara periferal (sebagian besar Afrika, Amerika Latin, sebagian besar Asia, dan beberapa negara yang dulu menjadi bagian dari Uni Soviet) berada dalam posisi subordinat ketika berinteraksi dengan negara-negara di core zone (Amerika Serikat; Uni Eropa, yang terdiri atas 15 negara, dan 12 negara lain yang siap masuk dalam UE; dan Kanada, Israel, Australia, Selandia Baru, serta Jepang). Semua relasi yang terjadi antara negara-negara di dunia diatur oleh negara-negara di core zone. Ketidaksetaraan dalam konstelasi sistem dunia itu menunjukkan ciri yang sama dengan yang diproposisikan dalam kapitalisme, yaitu ketidaksetaraan hubungan dalam relasi kekuasaan.
Atas dasar-dasar yang telah dipaparkan di atas kapitalisme saat ini disebut sebagai kapitalisme global. Operasi sistem produksi profit dan akumulasi kapital telah terintegrasi ke berbagai belahan dunia sehingga memunculkan sifat global di dalamnya. Produksi dan perdagangan barang dan jasa pun telah bersifat global. Bahkan pergerakan kapital pun telah terjadi ke seluruh dunia. Pada titik tersebut, kapitalisme menjadi kapitalisme global. Selain itu, seperti yang dikatakan Kenneth B. Taylor, dalam “Global Capitalism and the Question of Global Governance: A Socioeconomic Perspective” dalam International Journal of Social Economics, globalisasi selama paruh kedua abad ke-20 telah menyebarkan institusi-institusi kapitalis dan politik liberal ke seluruh dunia.
Categories: News update
0 komentar:
Post a Comment